Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 78
Tahun 1994, tanggal 25 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari
Guru Nasional. Penetapan hari guru nasional tersebut tentunya tidak terlalu
berlebihan sebagai penghargaan terhadap profesi guru, mengingat betapa penting
dan strategis peran guru dalam mendidik, menanamkan nilai-nilai, membentuk
karakter untuk menyiapkan generasi penerus demi keberlangsungan bangsa dan
negara tercinta.
Peringatan hari guru juga dilaksanakan di berbagai
negara. Di Amerika Serikat hari guru diperingati
pada minggu pertama bulan Mei, di Argentina hari guru dilaksanakan tanggal 11
September, hari wafatnya
Domingo
Faustino Sarmiento, seorang pendidik dan politisi Argentina. Sedangkan India
menetapkan hari ulang tahun Presiden
India Dr.
Sarvapalli Radhakrishnan yang juga seorang guru sebagai hari guru. Di
sekolah-sekolah diadakan perayaan, dan murid yang paling senior memainkan peran
sebagai guru. Demikian strategis dan pentingnya peran guru sehingga hampir semua negara
di dunia memandang perlu adanya penghargaan dan perhatian secara khusus
terhadap profesi guru.
Menyambut hari nasional guru tanggal 25 November 2013 ini,
kiranya perlu direnungkan kembali sisik melik dunia guru di era
informasi yang berkembang sangat pesat ini. Carut-marut tatanan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa di berbagai dimensi kehidupan disinyalir sebagai
produk pendidikan yang kurang pas. Ditambah lagi tawuran pelajar dari berbagai
tingkatan, seolah-olah menambah pundi-pundi dosa dunia pendidikan. Berbagai
fenomena kemerosotan moral, lunturnya nilai-nilai karakter dan etika serta
cinta tanah air dan kebangsaan di kalangan generasi muda yang cenderung tidak
kian surut bahkan semakin meningkat kuantitas maupun kualitasnya, memunculkan pertanyaan
di masyakarat, bagaimana pola pendidikan kita yang sebenarnya, apa yang
sebenarnya dilakukan para guru ketika mengajar, mendidik, dan membina siswanya.
Namun apabila ditelaah lebih lanjut, fenomena kenakalan
pelajar/remaja tidak sepenuhnya akibat dugaan malpraktek dunia pendidikan.
Justru ketidakwajaran perilaku para siswa dan remaja kita dipengaruhi oleh berbagai
tayangan dan model perilaku para generasi lebih tua yang ditayangkan lewat
media elektronika dan internet. Dalam usia yang relatif muda dan jiwa yang masih
labil yang sedang berkembang, mereka mencari idola sebagai panutan. Mereka
menganggap apa yang dilihat itulah yang
perlu diikuti dan diteladani.
Yang jelas kita tidak perlu semakin jauh memperdebatkan
siapa / pihak-pihak mana yang menjadi biang kerok, namun semua pihak harus bahu
membahu bagaimana upaya meminimalisir penyimpangan generasi penerus kita. Utamanya
guru, sebagai figur yang memiliki banyak kesempatan bertemu dengan siswa,
tentunya harus menyadari sepenuhnya akan profesinya. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila
orang tua dan masyarakat yang notabene
disibukkan mencari maisyah menaruh harapan besar kepada para guru.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, sosok guru selalu
diharapkan dalam membentuk peradaban. Suroso ( 2002 ) dalam
bukunya yang berjudul In Memoriam Guru mengilustrasikan
bahwa suhu atau guru dalam dunia wayang dan persilatan merupakan figur yang
dikagumi, dipatuhi dan diteladani oleh para muridnya. Guru merupakan sosok
manusia yang penuh wibawa, mampu memberikan solusi pada setiap kesulitan yang
dihadapi murid. Dalam terminologi pendidikan, guru adalah seorang motivator,
fasilitator dan dinamisator.
Guru juga memiliki peran yang sangat
strategis dalam membimbing anak manusia menjadi insan yang bermartabat. Tak
seorang pun berani menyangkal, bahwa kesuksesan hidup mereka tidak ada campur
tangan guru. Dari presiden, menteri, jenderal
berbintang, anggota DPR, pengusaha sukses sampai dengan abang becak pasti
memiliki kesan tersendiri terhadap sosok guru.
Seiring
dengan kemajuan jaman dan pergeseran tata nilai di masyarakat, saat ini sosok ideal
guru tersebut di atas tidak mudah didapatkan. Guru yang konon diakronimkan
sebagai figur yang patut ’digugu
dan ditiru’, bahkan dimitoskan sebagai empu dalam arti profil
manusia yang seakan suci tanpa cacat, nampak kian memudar. Bahkan tidak
jarang akronim guru diplesetkan menjadi wagu dan saru.
Menyadari kondisi demikian, berbagai regulasi telah
dirumuskan untuk mereposisikan martabat dan hakekat guru sebagai pilar utama
dalam membangun peradaban manusia. Maka lahirlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, yang terus diikuti dengan peraturan-peraturan yang
mengatur teknis pelaksanaannya.
Paradigma
baru dalam pembelajaran
Dalam melaksanakan
pembelajaran, sesuai dengan semangat pendidikan karakter, guru harus mampu
mengelola pembelajaran kontekstual untuk membangun karakter siswa. Guru harus dapat mengubah paradigma yang
selama ini terjadi yakni pembelajaran berpusat pada guru (Kemendiknas, 2011).
Pengajaran hanya dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada peserta
didik. Mereka dianggap berhasil apabila mampu mengingat banyak fakta yang
diberikan guru dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang
lain atau untuk menjawab soal-soal dalam ujian.
Paradigma baru pendidikan adalah pendidikan yang menjadikan siswa
sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi
dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya.
Sebagaimana dikemukakan Zamroni (2000) dalam Kemendiknas, praktek pendidikan
yang selama ini dilakukan hanya mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan
dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan
berkepribadian.
Dengan keempat
kompetensi yang guru, yakni kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan
profesional, diharapkan guru mampu menjadi pilar utama dalam mengawal dan
mengantarkan generasi penerus untuk survive dan bersaing di era global. Barangkali
menjadi impian bersama, apabila semua guru memiliki keempat kompetensi dan mampu
mengimplementasikannya ke dalam pembelajaran secara baik, dengan potensi jumlah penduduk produktif yang besar, Indonesia
akan menjadi negara raksasa yang disegani di dunia.
Mencuatnya berbagai kasus yang dilakukan oknum guru yang
tidak bertanggung jawab, seperti kekerasan fisik maupun psikis, pelecehan
seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya, oknum guru merampok, terlibat
dalam kasus penipuan, guru mogok mengajar dan sebagainya, tentunya harus
dijadikan pembelajaran bahwa apabila perilaku menyimpang yang dilakukan seorang
guru akan berdampak yang luar biasa. Disamping mencoreng institusi pendidikan,
dampak yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh kejiwaan para siswa.
Seakan-akan mereka sudah tidak punya lagi tokoh yang menjadi panutan, tidak
lagi percaya dengan guru, meskipun hal tersebut hanya dilakukan oleh segelintir
guru. Gambaran sosok guru yang cerdas, alim, disiplin, tertib, rajin,
berwibawa dan penuh dedikasi, akan memudar oleh tingkahnya sendiri. Pertanyaan
yang muncul adalah siapa lagi yang pantas dijadikan sosok panutan, ‘digugu
dan ditiru’.
Hari guru nasional yang diperingati tanggal 25 November tahun
ini, tentunya perlu dijadikan momentum yang tepat bagi semua pihak untuk
bersama-sama membangkitkan kembali ruh–ruh guru yang sempat terjangkiti polah-tingkah
segelintir oknum guru yang tidak bertanggung jawab. Meskipun manusia yang
menghuni bumi terus berganti generasi, bagaimanapun pesatnya kemajuan
teknologi, akan tetapi diyakini bahwa sosok guru selalu dibutuhkan pada setiap
generasi. Di
negara – negara maju sekalipun seperti Amerika, Jepang, dan Jerman profesi guru tetap dihormati dan
disegani. Harapan besar bangsa kepada profesi
guru untuk membangun generasi yang berkarakter harus disambut oleh guru sebagai
tantangan (challange) sekaligus peluang (opportunity). Pembangunan
karakter memang harus dimulai dari dunia pendidikan baik informal (keluarga)
formal (sekolah) maupun nonformal
(masyarakat). Tentunya kita sepakat bahwa bangsa ini harus diselamatkan, jangan
sampai kehilangan jatidiri atau karakternya. Kata-kata bijak mengatakan : You
lose your wealth, you lose nothing. You lose you health, you lose something.
You lose your character, you lose everything. Apapila anda kehilangan harta benda,
sesungguhnya anda tidak kehilangan apapun. Apabila anda kehilangan kesehatan,
anda kehilangan sesuatu. Namun apabila anda kehilangan karakter atau jatidiri,
berarti anda kehilangan segala-galanya.
Bravo Guru Indonesia! Tetaplah pada prinsip : GURU adalah GURU, bisa di-GUgu dan
di-tiRU.
Drs. H. Walidi W. Martama, MM.
Pengawas SMP Dinas Dikpora Kab. Tegal
Ketua DPD LDII Kab. Tegal, Jawa
Tengah