Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Agustus 2014

Take Over Transaksi Non Syariah ke Transaksi Syariah

Riba termasuk dosa besar, dapat melebur amal kebajikan, mendapatkan ancaman peperangan dari Alloh dan Rosul, serta ancaman kekal di dalam neraka. Bagi umat Islam wajib hukumnya untuk meninggalkan riba agar selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Lantas bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur terjebak dalam transaksi riba? Selama ini banyak yang sudah terlanjur kredit kepemilikan rumah, mobil, dan sepeda motor di bank konvensional atau lembaga pembiayaan konvensional yang belum lunas? Solusinya adalah supaya bertaubat kepada Alloh dan hijrah ke bank syariah atau lembaga pembiayaan syariah. Bagaimana dengan sisa pinjaman/kredit di bank/lembaga pembiayaan konvensional yang belum lunas? Solusinya adalah mengajukan pengambilalihan transaksi non-syariah ke transaksi syariah (take over) ke bank syariah atau lembaga pembiayaan syariah.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait take over tersebut, yaitu Fatwa Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang. Pengalihan transaksi non-syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai syariah di dalam fatwa tersebut dapat menggunakan empat alternatif, yaitu: 1) menggunakan akad al-Qordh, al-Bai’ wa al-Murobahah; 2) menggunakan akad al-Syirkah al-Milk wa al-Murobahah; 3) menggunakan akad  al-Qordh wa al-Ijarah; dan 4) menggunakan akad al-Qordh, al-Bai’, wa al-Ijaroh Mumtahiya bi al-Tamlik (IMBT).

Alternatif pertama,
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memberika Qordh (pinjaman murni) kepada fulan. Dengan pinjaman murni tersebut Fulan melunasi kredit (utangnya); dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik Fulan secara penuh. Tahap berikutnya, Fulan menjual aset tersebut kepada LKS, dan dengan hasil penjualan tersebut Fulan mengembalikan pinjamannya kepada LKS. Setelah aset tesebut menjadi milik LKS, kemudian LKS menjual secara murabahah (jual beli dengan menyebutkan harga pokok dan margin keuntungan yang diambil) aset yang menjadi miliknya kepadaFulan dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif pertama ini rawan terhadap riba karena bisa terjerumus pada bai’ al-Inah, hukumnya haram. Kata ‘Inah menurut al-Jauhari pinjaman dan utang (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah). Jual beli seperti ini disebut al-Inah karena sebenarnya seseorang bukan menginginkan barang, tetapi yang diinginkannya adalah uang (pinjaman). Mediator transaksinya adalah barang (‘ain). Supaya tidak terjadi jual beli ‘inah, maka setiap tahapan di dalam alternatif pertama harus diselesaikan terlelih dahulu akad/transaksinya dan ada jeda dengan transaksi berikutnya.

Alternatif kedua;
LKS membeli sebagian aset Fulan, dengan seizin Lembaga Keuangan Konvensional (LKK); sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk (kerjasama kepemilikan) antara LKS dan Fulan terhadap aset tersebut. Bagian aset yang dibeli oleh LKS adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) Fulan kepada LKK. Tahap berikutnya, LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut kepada Fulan dengan pembayaran secara cicilan. Alternatif kedua ini lebih ama karena di awalnya adalah syirkah di antara Fulan dengan bank syariah dalam hal kepemilikan aset. Kemudian bagian milik bank syariah dijual ke Fulan dengan murabahah diangsur sesuai dengan kesepakatan.

Alternatif ketiga;
Fulan ingin mengurus kepemilikan penuh rumahnya yang belum lunas di bank konvensional. Fulan kemudian mendatangi LKS untuk mengajukan take over. Selanjutnya dibuatlah akad al-Ijaroh (imbalan jasa) antara LKS dengan Fulan dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas rumah Fulan di bank konvenional. Apabila Fulan belum memiliki uang untuk melunasi rumahnya di bank konvensional, LKS dapat memberikan talangan pinjaman murni (al-Qordh) kepada Fulan agar dirinya bisa melunasi pinjamannya di bank konvensional. Akad al-Ijaroh di atas tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan. Besar imbalan jasa al-Ijaroh tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada Fulan. Alternatif ketiga ini berbahaya karena bisa terjerumus dalam riba. Agar tidak terjerumus riba, akad al-Qordh dan akad al-Ijaroh harus terpisah. Besarnya fee dalam akad al-Ijaroh tidak boleh berdasarkan pinjaman yang diberikan.

Alternatif keempat;
LKS memberikan pinjaman murni kepada Fulan, dengan pinjaman tersebut Fulan melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersbut menjadi milik Fulan secara penuh. Fulan kemudian menjual aset tersebut kepada LKS, dan hasil penjualan itu Fulan melunasi pinjamannya kepada LKS. Tahap berikutnya, LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada Fulan dengan akad al-Ijaroh al-Muntahiyah bi al-Tamlik (akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan). Alternatif keempat ini relatif aman. Pemindahan kepemilikan aset dalam IMBT dilakukan melalui hibah atau dengan cara membeli dengan harga yang sesuai di akhir masa sewa.

Berdasaran pembahasan di atas, disarankan apabila akan melakukan take over dari lembaga keuangan konvensiona ke bank syariah, supaya memilih alternatif kedua dan keempat. Kedua alternatif tersebut relatif lebih aman terhadap transaksi riba daripada alternatif-alternatif lainnya. /np0814

Tidak ada komentar:

Posting Komentar