Cari Blog Ini

Selasa, 05 Maret 2013

Indonesia Guru Kerukunan Umat Beragama

Jakarta, (MUIonline)
Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Drs H. Manajer Nasution, M.Ag mengemukakan, Indonesia merupakan guru kerukunan umat beragama. Keurukunan umat beragama di Indonesia tidak hanya bisa hidup rukun, melainkan juga saling memberikan rasa tenang, aman dan damai diantara para pemeluk agama. Kondisi kondusif kehidupan umat beragama di Indonesia diakui sejumlah Negara di dunia.
“Jadi, kurang tepat jika ada yang menyimpulkan telah terjadi kekerasan atasnama agama di Indonesia, khususnya dua tahun terakhir ini. Apalagi tuduhan hanya ditujukan kepada agama Islam saja. Bahwa terjadi masalah, ya. Tapi kita sudah selesaikan sebijak mungkin,” katanya menjawab pertanyaan MUIonline, di Gedung MUI, Jakarta, Jum’at (1/3) menanggapi pernyataan Dewan HAM PBB (HRW).
Seperti diberitakan, Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW/Dewan HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) divisi Asia, Phelim Kine menilai bahwa kekerasan atasnama agama di Indonesia meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir. Indonesia diminta menindak tegas para pelaku pelanggaran tersebut.
“Dalam riset HRW selama dua tahun, kami sangat terkejut dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kekerasan atasnama agama kerap meningkat secara signifikan di Negara yang mengakui keberagaman agama,” ungkap Phelim sambil memberikan contoh kejadian perlawanan terhadap penganut aliran syiah di Sampang, Madura, perlakuan terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang, Banten dan kejadian terhadap penganut Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat.
Menurut Manajer Nasution, beberapa contoh kasus yang dikemukakan pihak Dewan HAM PBB hakikatnya tidaklah menggambarkan kondisi yang terjadai di Indonesia secara menyeluruh. Apalagi, beberapa kasus yang dicontohkan itu dilakukan tidak dalam kerangka penampilan watak atau karakter yang bisa dinilai menggamkbarkan perilaku Indonesia sebagai negara yang mengakui kehidupan keberagaman agama.
Kita mengakui bahwa masih ada berbagai kasus bentrok yang terjadi dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Tetapi, tentu tidak hanya terjadi pada umat Islam saja. Di beberapa daerah justeru ada juga kekerasan yang dilakukan oleh umat di luar umat Islam. Karena itu, kita tidak bisa hanya menuding di kalangan umat Islam saja.
“Setiap ada kasus, kita berusaha untuk menyelesaikannya. Seperti kasus-kasus di Sampang, Madura, Banten dan Jawa Barat, semua kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Tetapi harus dibedakan antara penyelesaian kasus secara fisik dengan kasus materi ajaran keagamaannya. Terhadap materi ajaran Ahmadiyah misal, kita tidak ada toleransi. Kalau Ahmadiyah mengaku di luar Islam, silakan, itu hak mereka. Tapi kalau Ahmadiyah tetap mengaku beragama Islam dengan ajarannya itu, kita tetap tolak,” ungkapnya.
Menurut Manajer, harus dibedakan perlakuan terhadap kelompok yang ingin menyuburkan ajaran agamanya sendiri dengan kelompok yang merusak ajaran agama lain yang sudah ada. Kita mempersilakan kelompok agama manapun hidup dan melaksanakan ajaran agamanya. Tetapi kita tidak bisa mentolerir terhadap kelompok-kelompok yang ingin merusak ajaran agama yang sudah ada.
“Ketiga kasus yang disebutkan Dewan HAM PBB itu, yakni Sampang, Banten dan Jawa Barat merupakan upaya kelompok tertentu yang ingin merusak ajaran agama Islam. Sehingga membuat umat Islam yang sudah ada itu terusik dan tidak tenang. Bahwa penolakan itu lalu dilakukan dengan cara kekerasan, itu karena spontan umat saja dan bukan dilakukan dengan sengaja diorganisir. Itu hanya spontan luapan emosi saja yang tidak kita benarkan,” ujarnya.
Namun begitu, penilaian Dewan HAM PBB tetap akan dijadikan sebagai masukan berharga agar MUI bisa menangani persoalan keagamaan di Indonesia ke depan dengan lebih baik lagi. Hanya, jika menilai kehidupan umat beragama di Indonesia secara lebih obyektif, maka sesungguhnya kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia akan tampak lebih lengkap dibanding negara-negara lain di dunia. (http://mui.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar